Topeng Blantek Kesenian Betawi yang Nyaris Punah
SEPUTAR BETAWI News - Sebagai suku asli di Jakarta,
Betawi sangat kaya akan seni dan budaya. Namun, tidak semua kesenian Betawi
dikenal masyarakat secara luas, termasuk seni topeng blantek. Padahal, jauh
sebelum kesenian tradisional Betawi seperti gambang kromong, lenong dan lain
sebagainya dikenal masyarakat, topeng blantek sudah lebih dulu hadir di
tengah-tengah masyarakat Betawi.
Soal asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua suku
kata, yaitu topeng dan blantek. Istilah topeng berasal dari bahasa Cina di
zaman Dinasti Ming. Topeng asal kata dari to dan peng. To
artinya sandi dan peng artinya wara. Jadi topeng itu bila dijabarkan
berarti sandiwara. Sedangkan untuk kata blantek ada beberapa pendapat. Ada yang
mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu
rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, blang
blang crek. Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan maka
munculah istilah blantek.
Pendapat lainnya mengatakan, asal nama blantek berasal
dari Inggris, yaitu blindtexs, yang berarti buta naskah. Marhasan (55),
tokoh pelestari topeng blantek mengatakan, permainan blantek dahulu kala tidak
memakai naskah dan sutradara hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar
cerita yang akan dimainkan.
Ciri dari kesenian topeng blantek yaitu terdapat tiga
buah sundung (kayu yang dirangkai berbentuk segi tiga yang biasa digunakan
untuk memikul sayuran, rumput dan lain sebagainya). Yaitu satu sundung
berukuran besar dan dua berukuran kecil yang diletakkan di pentas sebagai
pembatas para pemain yang sedang berlakon dengan panjak dan musik juga dengan
para pemain lain yang belum dapat giliran berlakon. Kemudian perangkat lainnya
berupa obor yang diletakkan di tengah pentas.
Namun, di tengah modernisasi zaman kesenian yang dulu
dikenal di kalangan rakyat jelata tersebut saat ini kondisinya hampir punah.
Bahkan, keberadaan seniman dan sanggar tari topeng blantek boleh dikatakan
hidup segan mati tak mau.
“Sebenarnya kalau masyarakat ingin tahu sejarah
kesenian topeng blantek, boleh dikatakan cikal bakal kesenian tradisional
Betawi saat ini seperti gambang kromong, samrah, lenong dan lain sebagaianya
berawal dari topeng blantek. Tapi, minimnya dukungan pemerintah dan sepinya job
membuat kesenian topeng blantek nyaris tak populer,” ungkap Marhasan yang juga
pimpinan Topeng Blantek Pangker Group.
Ia mengakui, sejak adanya kesenian-kesenian
tradisional Betawi lainnya seperti lenong, topeng Betawi, samrah, gambang
kromong dan lain sebagainya, kesenian topeng blantek makin surut pamornya dan
akhirnya hilang sama sekali.
Saking lamanya kehadiran topeng blantek Marhasan tidak
tahu kapan kesenian rakyat itu ada. Marhasan yang sejak 1972 malang melintang
di Teater Maki-Maki pimpinan Patrick Usman, Sanggar si Barkah dan lainnya
hingga 1982 bersama almarhum Usman juga turut mendirikan sanggar Topeng Blantek
Pangker Group karena kecintaannya pada kesenian asli Betawi tersebut.
Menurutnya, kesenian topeng blantek sempat bangkit
pada 1972 saat seorang tokoh kesenian bernama Ras Barkah dengan sanggarnya yang
dinamakan si Barkah melakukan pengembangan kesenian topeng blantek ke bentuk
yang lebih sempurna, namun tidak meninggalkan keasliannya.
Diakui Marhasan saat era Ras Barkah kesenian topeng
blantek sempat tumbuh subur hingga ada 25 sanggar dengan rincian, Jakarta Barat
10, Jakarta Utara 3, Jakarta Timur 5, Jakarta Pusat 3, dan Jakarta Selatan 4
sanggar.
Sebelum nama topeng blantek nyaris tak terdengar
seperti saat ini, kesenian ini sempat mencapai klimaksnya dengan digelarnya
festival pada 26-31 Mei 1994 selama lima hari berturut-turut atas kerja sama
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan yayasan
Seni Budaya Jakarta. Saat itu, festival diikuti 13 sanggar.
Namun sepeninggal Ras Barkah pada 2007, upaya
melestarikan topeng blantek mulai terkendala modal dan sulitnya mencari
generasi penerus dan diperparah dengan tak adanya perhatian dari pemerintah
untuk turut melestarikan kesenian topeng blantek. Akibatnya, satu-persatu
sanggar-sanggar tersebut berguguran. Hingga saat ini untuk wilayah Jakarta
Barat saja hanya tersisa empat sanggar.
“Dari empat sanggar tersebut dua sanggar boleh
dibilang hidup segan mati tak mau. Sebab anggotanya sudah tak tahu ke mana
rimbanya,” tutur Marhasan.
Nasib yang tidak jauh berbeda juga saat ini dialami
sanggar yang dipimpinnya yang bermarkas di Jalan Pangkalan Kramat, RT 01/10,
Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, yang beranggotakan 30
orang.
Tak adanya modal membuat sanggarnya kesulitan membeli
perangkat alat musik baru untuk menggantikan alat yang lama hasil pemberian
Sudin Kebudayaan Jakarta Barat. Ditambah kurangnya minat generasi muda,
khususnya keturunan Betawi untuk melestarikan budayanya praktis membuat
sanggarnya sepi job.
“Bayangkan karena tak adanya uang dan fasilitas, untuk
latihan saja kami terpaksa latihan di teras rumah salah satu anggota atau
meminjam halaman sekolah,” tandasnya.
Bang Jaloe
sumber:
beritajakarta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar